Tidak boleh ada sedikit pun kesombogan (takabbur) terbersit dalam hati. Tidak ada kekuasaan yang melebihi kekuasaan-Nya. Selaraskanlah seluruh langkah dengan hukum dan kehendak-Nya. Semua gerak adalah gerak-Nya. Tak boleh ada penyangkalan (I’tiradh) terhadap segala ketetapan-Nya. Pasrahlah kepada-Nya dengan sepasrah-pasrahnya. Kenalilah dirimu yang sesunguhnya, maka kau akan mengenal Tuhanmu; jumpailah dirimu yang hakikat, maka kau akan berjumpa dengan Tuhan Yang Maha Sejati. Wallahu a’lam.
~ Ade ZM ~
Khazanah – Dalam sebuah kisah pewayangan epos Mahabarata, diceritakan Wrekudara atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bimasena atau Bima berguru kepada sang guru resi Durna atau Kumbayana. Setelah menyelesaikan sesi ilmu ragawi, selanjutnya sebagai tahap terakhir Bima ingin mempelajari ilmu yang paling tinggi yaitu ilmu kesejatian diri dan kesempurnaan hidup, sangkan paraning dumadi. Maka untuk mencapai hal tersebut Bima diberikan syarat oleh sang guru Durna, yaitu menemukan kayu Gung Susuhing Angin, di dalam sebuah hutan yang bernama Tikbrarasa yang sangat angker yang berada berada di gunung Reksamuka.
Perintah tersebut sebenarnya adalah jebakan secara halus dari keluarga Kurawa melalui Durna untuk menyingkirkan Bima. Keberadaan putra Pandawa yang salah satunya adalah Bima, merupakan suatu ancaman terhadap tahta pemerintahan Astina yang saat itu dipegang oleh ayah mereka Destrarasta. Kekuasaan tersebut memang titipan dari ayah Pandawa, yang pada waktunya nanti harus diserahkan kembali kepada keturunan Pandawa. Maka untuk mempertahankan kekuasaanya tersebut, keturnan Pandawa harus disingkirkan satu persatu. Bima adalah yang pertama, karena ia dianggap yang paling sakti di antara saudara-saudaranya yang lain.
Bima sudah diperingatkan oleh ibundanya Dewi Kunthi, bahwa itu adalah jebakan untuk membunuhnya. Namun, demi mematuhi perinta gurunya tersebut, ia tetap bersikeras untuk melaksanakan tugas tersebut. Berangkatlah Bima memasuki hutan yang ditunjukkan Durna. Sesampanya di sana, Bima tidak menemukan air tersebut. Ia malah bertemu dengan dua raksasa yang bernama Rukmuka dan Rukmakala yang sangat marah karena merasa terganggu dengan kedatangan Bima. Perkelahian pun terjadi antra Bima melawan kedua raksasa tersebut. Akhirnya Bima pun mampu mengalahkan kedua raksasa tersebut. Selanjutnya Bima pun pulang menemui gurunya, bahwa ia tidak menemukan apa yang dicarinya.
Keluarga Kurawa merasa kaget dengan kadatangan Bima yang masih hidup dan selamat keluar dari hutan tersebut. Bima diperintahkan kembali oleh Durna untuk menacari air kehidupan, tirta prawitasari ke suatu tempat yang menurut perhitungannya Bima tak akan selamat, yaitu ke dasar samudera. Namun lagi-lagi Bima tetap mematuhi titah sang guru tersebut, walaupun sudah diperingatkan oleh Ibunda dan saudara-saudaranya untuk tidak pergi ke tempat tersebut, karena itu adalah jebakan untuk membunuh Bima. Namun demi mematuhi perintah sang guru dan demi menemukan ilmu kesejatian diri dan kesempurnaan hidup, ia tetap berangkat untuk mencari air tersebut menuju samudera tersebut.
Samudera itu dinamai samudera minangkalbu, namun Durna tidak menunjukkan di mana letak samudera tersebut. Sesuai namaya samudera itu harus dicari Bima dengan cara mengikuti apa yang ditunjukkan kata hatinya. Sesampainya di tempat yang diyakini oleh hatinya, Bima merasa ragu apakah ia sanggup masuk ke dalam samudra. Namun tetiba ada burung gagak yang melintas di atas kepalanya, seolah mengetahui keraguannya, burung gagak tersebut meneriakinya, bahwa jangan takut dengan kematian, karena itu ada dalam genggaman Tuhan, dengan berdiam diri di rumah pun kematian bisa menjemput. Mendengar hal tersebut, Bima merasa malu dan terus menuju ke tengah samudera. Bima pun mencarinya ke setiap sudut samudera, namun apa yang ia cari tidak ditemukan. Ia malah bertemu dengan sang naga Nembunarka yang sangat ganas. Sang naga pun menyerang dan melilitnya. Perkelahian pun terjadi antara Bima dengan sang naga, dan akhirnya Bima mampu mengalahkan dan membunuh naga tersebut dengan kuku Pancanakanya.
Tidak menemukan apa yang dicari, Bima pun merasa putus asa, dan akhiranya ia memasrahkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Di puncak kepasrahannya tersebut, tiba-tiba ia bertemu dengan sesosok makhluk yang serupa dirinya, namun berbadan sangat kecil. Makhluk kecil tersebut bernama Dewa Ruci. Seolah tahu apa yang ada dalam pikiran Bima, Dewa Ruci pun memerintahkan Bima agar masuk ke dalam dirinya melalui telinga. Bima pun merasa kebingungan, bagaimana bisa ia yang betubuh sangat besar masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci yang sangat kecil. Namun karena kesungguhannya untuk mecari tahu tentang air kehidupan tersebut, akhirnya ia berhasil masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci.Â
Ketika berhasil memasuki tubuh Dewa Ruci, Bima menemukan sesuatu yang luar biasa yang belum pernah ia jumpai sebelumnya, kehidupan yang sangat luas penuh ketenangan dan kedamaian. Dewa Ruci pun memberinya pengajaran bahwa kayu Gung Susuhing Angin dan Tirta Parawita yang dicari itu tidak berada di tempat mana pun, tapi berada di dalam diri sang Bima itu sendiri. Maka akhirnya Buma pun menyadari bahwa ilmu kesejatian diri dan kesempurnaan, hanya bisa dicari dengan terus memahami dan menyelami hakikat diri.
Untuk mencapai kesejatian diri memang tidak mudah, butuh proses dan perjuangan. Ada banyak tantangan yang harus dilalui. Kita memang hidup di belantara hutan yang banyak jebakan dan mara bahaya, bermacam godaan dan hawa nafsu yang mengitari kehidupan kita. Raksasa Rukmuka (kamukten) sebagai simbol kekayaan yang harus ditaklukkan, karena kekayaan bukanlah tujuan hakiki kehidupan. Harta benda tidak boleh menjadi orientasi utama, dan tidak boleh memperbudak manusia. Raksasa Rukmakala simbol kemuliaan dan kemewahan hidup, pun harus ditaklukan. Kemulian sesungguhnya bukanlah di dapan makhuk, kemuliaan sejati adalah ketika kita berjumpa dengan Tuhan Yang Maha Mulia. Tidak boleh terbuai oleh puji dan sanjung dari sehebat apapun makhluk, karena tujuan yang utama adalah puji dari Yang Maha Terpuji.
Hutan Tikbrarasa ada simbolis tentang bagaimana rasa prihatin seringkali dijumpai dalam proses perjuangan. Namun itu bukan untuk menyiksa diri, tapi untuk memetik hikmah dalam rangka mempertajam mata batin, lendeping cipta agar lebih dapat memahami hakikat kebenaran sesuatu. Kayu Gung Susuhing Angin tidak ada di dalam hutan, ia ada dalam diri kita. Gung Susuhing angin artinya kayu yang mengeluarkan angin, adalah simbolik dari tubuh manusia yang bernapas. Kesejatiannya bukan pada raganya. Kesejatiannya ada dalam jiwa, dan akan ditemukan, ketika sanggup mengalahkan nafsu duniawi dan nafsu kebinatangan yang membelenggu.
Air kehidupan Tirta Prawitrasari pun tidak berada di samudra tempat berlimpahnya segala jenis air. Namun ia berada dalam diri manusia itu sendiri. Mata air kebahagiaan tidaklah bersumber dari beragam jenis fasilitas kebendaan apapun, namun ia mengalir dan bersumber dari hati dan jiwa yang bersih. Syaratnya adalah harus mampu mengalahkan sang naga, yakni nafsu angkara murka yang selalu mendorong kepada kejelekan dan kebinasaan. Selama nafsu angkara murka tersebut masih melilit dalam diri, maka sumber mata air kebahagiaan akan kerontang, dan kita aka terus merasa haus dan dahaga yang tidak akan pernah terpuaskan oleh tujuh samudera sekalipun.Â
Dalam perjalanan untuk menemukan hakikat dan kesejatian diri diperlukan juga kejernihan dan kejujuran hati nurani sebagaimana Bima menemukan samudera Minangkalbu. Jiwa yang lapang seluas samudera akan dimiliki jika berani jujur terhadap hati nurani. Istafti qolbaka, tanyailah hatimu, begitu sabda Sang Baginda Nabi. Padamnya nurani adalah kegelapan dan pengingkaran terhadapnya adalah kesempitan dan ketersesatan.
Kepasrahan total (taslim) kepada Tuhan Yang Maha Agung Sang Penguasa Seluruh Jagat Raya juga menjadi syarat mutlak untuk dapat menemukan atau bertemu dengan hakikat dan kesejatian diri yang sesungguhnya, sebagaimana Bima bertemu dengan Dewa Ruci yang tiada lain adalah dirinya sendiri yang sesungguhnya, setelah ia memasrahkan dirinya kepada Yang Maha Kuasa.
Tidak boleh ada sedikit pun kesombogan (takabbur) terbersit dalam hati. Tidak ada kekuasaan yang melebihi kekuasaan-Nya. Selaraskanlah seluruh langkah dengan hukum dan kehendak-Nya. Semua gerak adalah gerak-Nya. Tak boleh ada penyangkalan (I’tiradh) terhadap segala ketetapan-Nya. Pasrahlah kepada-Nya dengan sepasrah-pasrahnya. Kenalilah dirimu yang sesunguhnya, maka kau akan mengenal Tuhanmu; jumpailah dirimu yang hakikat, maka kau akan berjumpa dengan Tuhan Yang Maha Sejati. Wallahu a’lam.