Wabah virus corona berdampak pada hampir semua sektor kehidupan. Tak terkecuali dengan sektor pendidikan. Semua sekolah mulai tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Perguruan Tinggi (PT), diharuskan untuk melakukan pembelajaran jarak jauh.
Bukan tanpa sebab Kementrian Pendididikan dan Kebudayaan mengeluarkan kebijakan seperti itu, kerumunan orang dianggap dapat mempermudah penyebaran wabah. Entah sampai kapan hal ini terjadi hingga para siswa dapat segera kembali lagi ke bangku kelasnya.
Ketidakberlangsungan Kegiatan Belajar Mengajar di sekolah, bukan berarti semua unsur harus mati suri. Andai itu dilakukan, maka sudah dapat dikatakan suatu kekonyolan. Justru, pada kondisi sekarang inilah kalangan terdidik ditantang dan diuji kreativitasnya tanpa berbenturan dengan kebijakan pemerintah.
Untuk tetap berprestasi, setiap unsur pendidikan harus terlibat sesuai kapasitasnya. Pemerintah yang dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Dinas, Pengawas, Ketua Yayasan, Kepala Sekolah, Guru-Guru, Orangtua hingga peserta didik, semua harus bahu membahu dan berpikir kritis hingga tetap dapat menuai prestasi.
Bagi para pemangku kebijakan, selain dituntut terus melahirkan inovasi, mereka dituntut pula memikirkan strategi agar kebijakan-kebijakan itu dalam berjalan hingga bawah. Tidak semua tingkat pendidikan dapat mengikuti kebijakan, apalagi tanpa dibarengi dengan pengawasan yang ketat.
Setidaknya terdapat empat strategi yang dapat dipilih pemerintah agar sektor pendidikan tetap berprestasi. Pertama Strategi Fasilitatif (facilitative strategies). Strategi ini digunakan untuk mencapai tujuan melalui penyediaan fasilitas. Bagi sekolah-sekolah unggulan yang terbiasa menghasilkan inovasi pendidikan, maka pemerintah cukup memfasilitasi dan membiarkan mereka mengembangkan kreativitasnya. Tidak terlalu berintervensi pada pola pembelajaran jarak jauhnya, karena boleh jadi cara mereka lebih baik dari kebijakan pemerintah saat ini. Menggiring peserta didik untuk nonton TVRI, mungkin itu lebih tepat diperuntukkan bagi sekolah standar saja, apalagi durasi yang diberikan hanya hitungan menit untuk tiap tingkatannya. Sekolah-sekolah yang terbiasa berinovasi mungkin tidak merasakan apa-apa. Oleh Karena itu, khusus bagi sekolah-sekolah tertentu, peran pemerintah cukup dengan memfasilitasi saja yang mungkin kreativitasnya dapat ditiru oleh sekolah-sekolah lain.
Kedua, Strategi Pendidikan (Educative Strategies). Strategi pendidikan ini lebih tepat diterapkan bagi sekolah-sekolah atau wilayah yang bermimpi untuk tetap berkreasi hanya mereka merasa kesulitan. Bagi sekolah yang keadaannya seperti itu, meraka cukup diberi stimulus untuk kemudian punya kekuatan mengembangan pendidikan. Ketiga Strategi Bujukan (Persuasive Strategies). Strategi ini diperuntukkan bagi lingkungan pendidikan yang lemah kreativitas, kurang memiliki keinginan, hanya menunggu intruksi atasan. Meraka harus dibujuk agar bangkit dan mau berkreasi. Keempat, Strategi Paksaan (Power Strategies). Nah, Strategi ini dilakukan dengan cara memaksa sekolah-sekolah yang sama sekali tidak ada kreativitas, tidak memiliki keinginan, malas berprestasi untuk mencapai tujuan perubahan. Oleh mereka, kehadiran pandemi dijadikannya alibi untuk berprestasi.
Unsur berikutnya, yang menjadi penentu bisa tetap berprestasi dalam sektor pendidikan ialah ujung tombak pendidikan itu sendiri mulai Ketua Yayasan, Kepala Sekolah, Pendidik dan Tenaga Kepandidikan. Mereka semua dituntut kerja keras. Jangan hanya menunggu intruksi pemerintah, melainkan terus berpikir agar pembelajaran dapat berlangsung dan kualitas pendidikan tidak menurun. Visi, misi, dan tujuan pendidikan yang sudah dibuat harus tercapai.
Tidak sesederhana dengan apa yang dibayangkan dan disangkakan kepada para pelaku pendidikan. Pada beberapa situasi Soft skill tidak bisa digantikan dengan hard skill. Oleh karena itu, para pendidik lebih memilih untuk langsung berinteraksi di dalam kelas. Dengan langsung bertatatap muka, guru dapat lebih mudah melakukan pendekatan pada peserta didik. Beda halnya dengan KBM jarak jauh. Kemampuan anak dan keinginan orangtua yang berbeda-beda, membuat tujuan pendidikan susah tercapai. Bagi orangtua yang idealis dan anaknya yang cerdas, saat diberi materi dan penerangan standar, maka mereka merasa layanan pendidikan tidak sesuai harapan. Demikian juga sebaliknya.
Bagi sekolah yang kreatif, situasi belajar seperti sekarang ini dapat dijadikan media untuk meningkatkan pencapaian. Pendidik dapat memfasilitasi peserta didik bersaing secara global. Bukan hanya berkompetisi teman satu sekolahnya, melainkan dengan sekolah lain bahkan wilayah, dan negara lain. Kemampuan IT peserta didik bisa digunakan alat mengeksplor kemamuannya. Tak sedikit siswa yang memiliki kemampuan tersembunyi, dengan cara pembelajaran seperti ini, akan muncul adanya.
Orangtua yang tidak terbiasa membimbing anak-anaknya mungkin akan merasa kesulitan. Sehari mendampingi mereka serasa satu minggu atau mungkin lebih. Demikian juga dengan anaknya, mereka merasakan kondisi yang sama. Belajar dengan guru yang sudah dibekali kemampuan pedagogik, dan penguasaan konten materi akan berbeda dengan orangtua dalam menyampaikan materi ajar. Namun demikian, orangtua sudah dipastikan lebih mengenal karakter dan motivasi belajar anaknya. Kelebihan tersebut bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Kompetensi orangtua pada bidang tertentu akan lebih cepat diadaptasikan kepada anak dibandingkan dengan gurunya di sekolah. Pun orangtua dapat memilih waktu yang lebih tepat, suasana yang lebih santai dan lain-lain. Saat hal itu dimanfaatkan, maka tidak menutup kemungkinan sektor pendidikan menghasilkan prestasi-prestasi baru yang boleh jadi lebih baik secara kualitas maupun kuantitas dibandingkan dengan kondisi normal pembelajaran di dalam kelas.
Howard Gardner seorang pakar pendidikan dari Universitas Harvard mengungkapkan, setidaknya terdapat delapan kecerdasan anak. Kecerdasan tersebut pastinya dimiliki anak dan dapat dikembangkan orangtua. Pertama kecerdasan linguistik (word smart), dimana anak pandai dalam hal berbahasa baik itu lisan maupun tulisan. Hal ini dapat dilihat ketika anak suka membaca, cepat mengeja, suka menulis berbicara dan mendengarkan cerita. Kedua kecedasan logika (number smart) yang dapat dilihat ketika anak menyukai angka-angka, berbau sains dan berhubungan dengan logika. Ketiga kecerdasan interpersonal (self smart) dimana anak lebih suka bermain sendiri namun ia bisa mengatur emosi. Keempat kecerdasan interpersonal (people smart) dimana anak suka bergaul dan memiliki jiwa empati yang tinggi. Kelima kecerdasan musikal (music smart) dimana anak suka bernyanyi, mendengar music, mengingat lagu dan lain-lain. Keenam kecerdasan spasial (Picture smart) dimana anak suka menggambar, berimajinasi, mencurat coret. Ketujuh kecerdasan kinetik (body smart) dimana anak aktif bergerak berolahraga, menari, menyentuh, dan Kedelapan kecerdasan naturalis (nature smart) dimana anak lebih senang bermain di alam, memelihara binatang dan lain-lain.
Simpulan;
Tidak ada alasan bagi siapapun untuk tidak berprestasi. Sektor pendidikan yang di dalamnya diisi oleh orang-orang terdidik dan kritis, memiliki potensi untuk melakukan apapun juga. Keberhasilan akan terwujud manakala setiap unsur pendidikan mulai dari pemerintah hingga peserta didik bergerak sesuai perannya masing-masing. Pandemi corona yang membuat KBM dilaksanakan di rumah masing-masing, tidak menutup diri untuk tetap berkreasi. Justru pada kondisi seperti ini boleh jadi prestasi lebih baik dibandingkan KBM di dalam kelas baik secara kualitas maupun kuantitas karena salahsatu kecerdasan anak dapat terkembangkan.